Sejak Tahun 1946, Wilayah Kendali Informasi Udara Natuna Pernah Diambil Alih Singapura
BATAM, MELAYUPEDIA.COM – Sejak tahun 1946, ternyata wilayah kendali informasi udara (FIR) Natuna pernah diambil alih Singapura. Salah satu alasannya karena Indonesia belum memiliki kompetensi dari berbagai aspek mengenai kontrol udara.
Keputusan itu diambil melalui International Civil Aviation Organization (ICAO), saat Indonesia baru menginjak satu tahun merdeka.
Selain itu, penetapan 'kavling-kavling' pelayanan navigasi udara sudah terbentuk pada 1945 saat Indonesia baru merdeka.
BACA JUGA:
Gawat.. 2 Imigran di Batam Terpapar Omicron
Ini Besaran Upah Pelaku Penyelundupan PMI Ilegal Asal Indonesia ke Malaysia
Omicron, Flurona, Kini Ada Lagi Varian Baru, IHU
Pengelolaan ruang udara di Blok ABC oleh Malaysia dan Singapura sudah dilakukan sejak 1944. Kedua negara ini masih menjadi bagian dari kekuasaan Inggris kala itu.
Ruang udara di Batam dan Natuna, adalah bagian dari FIR Blok A. Selain itu, terdapat pula Blok B dan C yang berada di atas perairan Natuna.
Sektor A mencakup wilayah udara di atas delapan kilometer sepanjang Batam dan Singapura. Sektor B, mencakup kawasan udara di atas Tanjung Pinang dan Karimun.
Sementara itu, sektor C yang berada di wilayah udara Natuna dibagi menjadi dua. Singapura mengendalikan di atas 24.500 kaki, sedangkan Malaysia di bawah 24.500 kaki
Salah satu implementasi penguasaan FIR oleh Singapura adalah saat penerbang TNI AU harus mengantongi izin dari menara kendali penerbangan Bandara Internasional Changi, untuk bisa lepas-landas atau mendarat hingga menentukan rute, bahkan ketinggian dan kecepatan.
Sejak 1990, upaya negosiasi Indonesia dengan Singapura, untuk mengambil alih ruang kendali FIR di Perairan Natuna terus dilakukan.
Pada Januari 2012 tercapai kesepakatan antara Indonesia dan Singapura, bahwa FIR wilayah Kepulauan Riau yang dikuasai Singapura akan dikembalikan ke Indonesia.
Salah satu dasar hukum pengambilalihan FIR ialah UU RI No.1 Tahun 2009 soal Penerbangan. UU ini kemudian ditandatangani presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono pada Januari 2009. Pasal 5 Bab IV soal Kedaulatan Atas Wilayah Udara dalam UU tersebut.
"Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eklsusif atas wilayah udara Republik Indonesia," bunyi pasal itu.
Acuan hukum berikutnya tercantum pada Pasal 458 Bab XXIV Ketentuan Penutup.
"Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian, sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak Undang-Undang ini berlaku," tulisnya.
Tiga tahun kemudian, pada 2015 Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Menteri perhubungan dan Panglima TNI untuk mempersiapkan keperluan agar Indonesia mampu mengelola sendiri ruang udara.
Jokowi saat itu menargetkan dalam jangka waktu tiga-empat tahun lagi Kemenhub dan TNI mampu memodernisasi peralatan dan kemampuan personel. Pengelolaan ruang udara menekankan soal keselamatan, sebab FIR digunakan oleh penerbangan sipil.
Di November 2015, disebut telah mempersiapkan semua persiapan teknis untuk mengambil FIR yang saat ini dipegang Singapura, termasuk menyerahkan roadmap atau peta jalan ke negara itu dan Malaysia. Singapura juga tak keberatan jika Indonesia mengambil alih FIR.