Arab-Melayu yang Mulai Memudar di Zaman Sekarang: Tantangan dalam Menjaga Warisan Budaya
Oleh: Ahmad Shofa Ainul Irfan
WARISAN budaya Arab-Melayu telah menjadi bagian integral dari sejarah dan identitas masyarakat di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dan Malaysia. Kombinasi yang harmonis antara nilai-nilai Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab dan tradisi lokal Melayu selama berabad-abad membentuk sebuah tatanan budaya yang khas dan unik.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, globalisasi, serta kemajuan teknologi dan modernisasi, kebudayaan Arab-Melayu yang dahulu menjadi kebanggaan dan simbol identitas lokal kini mulai memudar di tengah arus perubahan.
Melemahnya Bahasa Arab-Melayu dalam Kehidupan Sehari-hari
Salah satu aspek yang paling jelas dari memudarnya kebudayaan Arab-Melayu adalah penurunan penggunaan aksara Jawi, yaitu tulisan Arab yang diadaptasi untuk bahasa Melayu. Pada masa lampau, aksara Jawi digunakan secara luas dalam administrasi pemerintahan, kesusastraan, dan keagamaan di wilayah-wilayah Melayu. Di Malaysia dan Brunei, misalnya, Jawi masih diajarkan sebagai bagian dari kurikulum sekolah, tetapi penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat berkurang.
Di Indonesia, khususnya di daerah seperti Sumatra dan Kalimantan, penggunaan aksara Jawi hampir sepenuhnya tergantikan oleh aksara Latin. Pengaruh ini juga terlihat dalam media massa, komunikasi digital, dan pendidikan. Generasi muda lebih cenderung menggunakan aksara Latin dan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama, sementara Jawi semakin ditinggalkan. Akibatnya, warisan budaya yang seharusnya dipertahankan sebagai bagian dari identitas kebudayaan ini mulai tersisih.
Pergeseran Nilai dalam Seni dan Sastra Arab-Melayu
Seni dan sastra yang dulunya menjadi sarana utama untuk menyampaikan nilai-nilai dan norma dalam masyarakat Arab-Melayu juga mengalami pergeseran. Karya-karya klasik seperti syair, pantun, dan hikayat yang banyak terpengaruh oleh sastra Arab, kini jarang diminati oleh generasi muda. Seiring dengan masuknya budaya pop dan gaya hidup modern, minat terhadap karya-karya sastra klasik tersebut semakin menurun.
Selain itu, perkembangan teknologi dan media sosial membuat masyarakat lebih tertarik pada hiburan instan dan konten digital, yang sering kali tidak terkait dengan warisan budaya lokal. Banyak orang muda lebih memilih musik, film, dan sastra yang berasal dari Barat atau Asia Timur dibandingkan dengan kesenian lokal. Pergeseran ini menciptakan jarak yang semakin besar antara generasi sekarang dan nilai-nilai budaya yang diwariskan dari leluhur mereka.
Busana dan Tradisi yang Mulai Ditinggalkan
Busana tradisional Arab-Melayu, seperti baju kurung dan jubah, yang dahulu menjadi pakaian sehari-hari, kini hanya dipakai pada acara-acara tertentu seperti pernikahan atau perayaan keagamaan. Tren pakaian modern dan globalisasi mode telah menggantikan busana tradisional tersebut dengan gaya berpakaian yang lebih kasual dan sesuai dengan tren global. Di kota-kota besar, semakin sedikit orang yang memilih untuk mengenakan pakaian khas Arab-Melayu dalam aktivitas sehari-hari, karena dianggap kurang praktis atau kurang sesuai dengan standar mode masa kini.
Selain itu, tradisi-tradisi lokal yang kaya akan pengaruh Arab-Melayu, seperti upacara keagamaan, zikir, marhaban, dan perayaan Maulid Nabi, juga mulai ditinggalkan. Di banyak daerah, acara-acara keagamaan tersebut mulai digantikan oleh bentuk perayaan yang lebih modern atau bahkan diabaikan sama sekali. Hal ini terjadi karena perubahan gaya hidup, urbanisasi, serta berkurangnya ketertarikan generasi muda terhadap tradisi dan ritual yang dianggap kuno.
Pengaruh Globalisasi: Antara Modernisasi dan Melestarikan Tradisi
Salah satu faktor utama yang menyebabkan memudarnya kebudayaan Arab-Melayu adalah arus globalisasi yang semakin deras. Modernisasi membawa perubahan besar dalam cara hidup, terutama di kota-kota besar, di mana masyarakat lebih banyak terpapar dengan gaya hidup Barat. Pendidikan modern, media sosial, dan akses informasi yang tak terbatas membuat generasi muda lebih tertarik pada budaya global yang dianggap lebih modern dan progresif. Akibatnya, budaya lokal, termasuk Arab-Melayu, terpinggirkan dan dianggap kurang relevan dengan perkembangan zaman.
Globalisasi juga membawa masuk nilai-nilai baru yang sering kali bertentangan dengan norma-norma tradisional. Misalnya, budaya konsumtif dan hedonisme yang didorong oleh media massa membuat nilai-nilai kesederhanaan dan religiusitas dalam budaya Arab-Melayu semakin tergerus. Masyarakat yang dahulu menjunjung tinggi nilai spiritual dan moral, kini lebih banyak fokus pada aspek material dan modernitas.
Upaya Pelestarian yang Belum Optimal
Meski demikian, beberapa upaya telah dilakukan untuk menjaga warisan budaya Arab-Melayu agar tidak hilang sepenuhnya. Di beberapa daerah, pemerintah daerah dan komunitas budaya berusaha mengadakan acara-acara budaya, festival, dan pameran yang menampilkan kekayaan budaya Arab-Melayu. Pusat-pusat kebudayaan didirikan untuk mempromosikan bahasa, seni, dan tradisi Arab-Melayu kepada masyarakat luas, terutama generasi muda.
Namun, upaya-upaya tersebut sering kali terhambat oleh kurangnya dukungan dari berbagai pihak. Program pendidikan yang mengajarkan budaya lokal, termasuk bahasa dan aksara Jawi, masih kurang terintegrasi dengan baik dalam kurikulum formal. Selain itu, kurangnya minat dan kesadaran dari generasi muda juga menjadi tantangan besar dalam upaya pelestarian ini.
Kesimpulan: Tantangan Menjaga Identitas Budaya di Tengah Arus Perubahan
Kebudayaan Arab-Melayu, yang selama berabad-abad menjadi simbol identitas dan kebanggaan masyarakat di Nusantara, kini menghadapi tantangan besar di tengah era modernisasi dan globalisasi. Pengaruh budaya global yang semakin kuat, ditambah dengan perubahan gaya hidup dan teknologi, membuat warisan budaya ini semakin terpinggirkan. Jika tidak ada upaya serius dan kolaboratif dari pemerintah, komunitas budaya, serta generasi muda, ada kemungkinan besar bahwa warisan budaya Arab-Melayu akan semakin memudar dan hilang seiring dengan berjalannya waktu.
Penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa kebudayaan adalah bagian dari identitas mereka. Melestarikan budaya bukan hanya tentang menjaga warisan masa lalu, tetapi juga memastikan bahwa nilai-nilai lokal tetap relevan dan dapat diteruskan kepada generasi yang akan datang. Di tengah arus globalisasi, menjaga keseimbangan antara modernitas dan warisan tradisional adalah kunci untuk mempertahankan kebudayaan Arab-Melayu agar tetap hidup di masa depan.
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam di Universitas Hasyim Asy`ari (Unhasy).