• Copyright © melayupedia.com
    All Right Reserved.
    By : MPC

    Ratif Saman, Tradisi Zikir Hasilkan Air Obat di Lingga

    Ratif Saman, tradisi zikir di Kabupaten Lingga Kepri (Dok. Pemkab Lingga)

    BATAM, MELAYUPEDIA.COM - Adat Islam di Kepulauan Riau (Kepri), tak kalah beragam, seperti halnya berbagai pantai eksotik yang ada.

    Salah satu kebiasaan yang hingga kini masih sering ditemui, terutama di Lingga, yakni upacara Ratif atau Ratib Saman.

    Tradisi ini merupakan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Kepri.

    Ratib merupakan sejenis zikir, puji-pujian kepada Allah SWT, yang diucapkan berulang ulang. 

    Dengan mengucapkan kalimah 'La Illahaillallah', biasa dilakukan setelah salat fardhu baik dengan jahar atau dengan sir.

    Nah, Ratib Saman, yakni sejenis Ratib yang merupakan amalan tarikat Saman, yang diajarkan Abd. Karim al-Saman. 

    Cara membawakannya sama dengan ratib, tetapi dilakukan dengan duduk bersama secara berjamaah. Ratib Saman dipimpin oleh seorang imam, kotik atau bilal.

    Di Kepulauan Riau (Kepri), upacara Ratif Saman biasanya dilakukan pada malam Jumat, yaitu setelah salat Isya.

    Saat memasuki masjid, peserta juga membawa air. Air ini kemudian didekatkan dengan wadah, yang terbuat dari logam.

    Yang mana, merupakan tempat pembakaran serpihan kayu cendana dan gaharu, yang oleh warga disebut Setanggi.

    Setelah upacara berakhir, air ini bisa dibawa pulang oleh peserta sebagai obat.

    Yang dipercaya warga, dapat menyembuhkan segala macam penyakit, terutama penyakit yang datangnya dari makhluk gaib.

     

    RITUAL PUTAR KEPALA

    Sebelum mengucapkan kata 'Laillah', nafas harus ditarik dalam-dalam. Selanjutnya, kata 'hail' diucapkan sambil kepala diputar ke bahu bagian kiri.

    Diteruskan pengucapan 'lal' dengan kepala diputar ke bahu kanan, sampai akhirnya pengucapan 'lah', yang disertai dengan tundukan kepala ke rusuk kanan.

    Pengucapan kalimat 'Lailahaillallah' sambil melakukan gerakan-gerakan tersebut, dimaksudkan agar peserta senantiasa mengingat Allah SWT.

    Hidung yang menarik udara, menurut keyakinan mereka, merupakan sumber masuknya penyakit dan juga masuknya jin jahat yang mengganggu tubuh manusia.

    Dengan ditariknya udara dan dihembuskan kembali, sembari mengucapkan 'Lailahaillallah' diharapkan segala penyakit akan ikut terbuang.

    Penjelasan yang lain adalah mengenai aturan pembacaan ayat yang terkadang begitu panjang, yang hanya dikuasai oleh pimpinan upacara dan para tetua kampung yang sudah biasa melakukannya.

    Apabila tidak hafal atau tidak dapat mengikuti ayat yang dilafazkan, maka peserta cukup membaca 'Allahuma Salli Ala Muhammad', secara berulang-ulang hingga ayat yang panjang tersebut selesai dibacakan pemimpin upacara.

    Setelah menyampaikan hal-hal tersebut di atas, barulah pemimpin upacara memulai jalannya Ratif Saman. 

    Beberapa surat dalam Alquran pun dibacakan, lalu diteruskan dengan beberapa ratif (zikir) yang diikuti oleh seluruh peserta.

    Setelah upacara selesai, pemimpin upacara mempersilahkan masing-masing peserta mengambil air yang telah dibawanya.

    Saat melaksanakan Upacara Ratib Saman, biasanya juga menggunakan tasbih, serpihan kayu cendana dan gaharu, korek api dan sebuah lilin untuk menerangi pembacaan Alquran.

    Menurut keyakinan warga, ada beberapa pantangan yang harus diindahkan, dari saat upacara dilakukan sampai dengan hari yang ketiga.

    Pertama, tidak boleh membawa mayat masuk ke dalam desa, karena jin hitam, akan kembali masuk ke desa dengan cara menempel pada tubuh mayat.

    Kedua, tidak boleh memikul sampan melintasi jalan desa karena akan digunakan oleh jin hitam sebagai 'kendaraan', untuk kembali masuk desa. 

    Ketiga, tidak boleh menjemur pakaian di pagar rumah bagian depan, karena pakaian tersebut.

    Yang dikhawatirkan masih belum bebas dari najis, sehingga dapat mengundang datangnya jin hitam.