• Copyright © melayupedia.com
    All Right Reserved.
    By : MPC

    Sejarah Masjid Raya Sultan Riau Penyengat Berbahan ‘Semen’ Putih Telur

    Masjid Raya Sultan Riau Penyengat di Pulau Penyengat Kepri (Dok. www.nationalgeographic.grid.id)

    BATAM, MELAYUPEDIA.COM – Bagi pelancong yang berkunjung ke Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau (Kepri), pasti tidak melewatkan bertandang ke Pulau Penyengat.

    Salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi, adalah Masjid Raya Sultan Riau Penyengat, yang dibangun oleh Sultan Mahmud di tahun 1803.

    Menarik sejarah yang ada, masjid yang merupakan peninggalan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang tersebut, awalnya dibangun Sultan Mahmud ketika dia membangun infrastruktur untuk istrinya, Raja Hamidah Putri dari Raja Haji Fisabilillah.

    BACA JUGA :

    Berdiri di Batu Lepe Anambas, Sejauh Mata Memandang ke 3 Negara

    Pulau Galang dan Kisah Manusia Perahu Asal Vietnam

    Indahnya 4 Pulau di Kepulauan Riau, Surganya Dunia Anambas

    Lalu di tahun 1832, di masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman, dia mengistruksikan anak buahnya untuk memugar rumah ibadah itu. Tepat di tanggal 1 syawal, Raja Abdurrahman menyerukan ke masyarakat, untuk memperbaiki masjid secara gotong-royong. 

    Masjid yang awalnya berdinding kayu, ingin dipugar Raja Abdurrahman menjadi bangunan berdinding beton agar lebih kuat dan tahan lama.

    Nur Fatilla, interpreter dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Penyengat mengatakan, banyak warga menyumbang, salah satunya menyumbang telur untuk makan para pekerja dari India dan Singapura.

    Dari sumbangan para warga tersebut, banyak yang menyumbang telur mentah. Karena bosan mengkonsumsi telur terus, akhirnya para pekerja memanfaatkan putih telur sebagai bahan perekat, yang dicampur dengan semen dan batu. Saat itu, putih telur memang sudah banyak digunakan untuk bahan perekat.

    Bangunan bergaya megah namun sarat akan kesan kuno tersebut, memiliki bangunan-bangunan kecil berbentuk persegi. Bangunan unik tersebut dinamakan sotoh atau rumah terbuka. 

    Sotoh di bagian kiri,  berfungsi sebagai tempat belajar masyarakat pada masa itu. Kalau di bagian kanan, untuk tempat istirahat para musafir.

    Jika ingin masuk ke masjid ini, para pengunjung harus mengambil wudhu terlebih dahulu. Bagi pengunjung perempuan, harus menggunakan hijab atau selendang yang menutupi kepala. Akan ada selendang yang disiapkan di sana, agar bisa dipakai pengunjung perempuan yang tak memakai hijab.

    Masjid Raya Sultan Riau ini memiliki total 17 kubah masjid. Ada 10 kubah berbentuk bulat di bagian tengah, lalu tiga kubah berbentuk persegi, dan empat kubah menara. Menurut Tilla, kubah-kubah ini melambangkan jumlah total rakaat dalam solat wajib. Tak hanya jumlah kubah yang ternyata memiliki makna penting dalam agama Islam.

    Namun ada juga jumlah tujuh pintu yang melambangkan surah Al-Fatihah, jendela yang berjumlah enam yang melambangkan enam rukun iman, serta lima jendela di dalam masjid yang melambangkan jumlah rukun Islam.

    “Tiang di dalam masjid juga ada empat. Konon ada dua versi, yang pertama empat itu melambangkan empat mazhab dalam Islam dan ada juga versi empat sahabat nabi,” katanya.

    Di dalam masjid ini, banyak sekali benda peninggalan sejarah yang memiliki cerita menarik. Seperti mimbar kayu yang bergaya kuno, yang dipercaya sudah ada sejak awal masjid ini berdiri dan masih digunakan hingga kini.

    Hambali, penjaga Masjid Raya Sultan Riau Penyengat mengatakan, mimbar tersebut mempunyai kembarannya, yang disimpan di Masjid Jami Daik Lingga Kepri.

    Ada juga lampu besar kuno yang disebut sebagai lampu ‘crown’, yang merupakan hadiah dari kerajaan Prusia. Karena salah satu misionaris mereka bernama Eberhardt Herman Rottger, sempat tinggal selama delapan tahun di wilayah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan ia diperlakukan dengan baik.

    “Di masjid ini juga ada ritual injak tanah Makkah yang sering membuat banyak orang berdatangan ke Penyengat ini. Ritual ini dilakukan oleh bayi berumur 40 hari, kaki mereka diinjakan pada tanah yang diambil dari Makkah,” ujar Hambali.

    Ritual ini konon katanya dilakukan dengan harapan setelah menginjak tanah “suci” ini nasib baik akan selalu menyertainya. Tanah Makkah ini diambil oleh Raja Ahmad dan Raja Ali Haji yang sempat melakukan ibadah haji ke Makkah.

    Mereka membawa segenggam tanah dan ditaruh di atas piring besi yang hingga kini masih digunakan dalam proses ritual.

    Ada juga lemari bernama Khutub Khanah, atau lemari yang berguna sebagai perpustakaan pribadi milik Raja Muhammad Yusuf. Di dalamnya kurang lebih ada 366 kitab.

    “Di dalamnya ada kitab Al Kanun Al Tib yang ditulis oleh Ibnu Sina. Sampai sekarang semua buku masih asli,” ungkapnya.

    Beberapa bahkan ada yang sudah hancur karena usia. Tapi ada yang terpelihara dengan baik, seperti Alquran tulis tangan yang dibuat oleh Abdurrahman Stambul.